Setelah berjalan berjam-jam dengan kondisi perjalanan yang tidak normal kebanyakan orang. Tibalah di plawangan sebuah persimpangan antara jalan pendakian Purwosari dan Lawang. Kira-kira 1 jam menuju puncak ogal-agil 3.339 Mdpl. Mulanya rombongan berjumlah 14 orang , kini sisa 7 orang terdiri dari tiga senior dan tiga teman sebaya saya. lainnya istirahat di pos 5 Mangkhutoromo. Jalan kian menanjak, hari semakin sore menjelang malam. Angin sepoi-sepoi perlahan menerobos masuk ke sela-sela tubuh yang terbungkus jaket tebal. "Deg, deg, hzzzz," sembari menarik nafas dalam-dalam.
Terdapat sebuah batu besar pada sisi kanan jalur pendakian. Tempatnya lumayan landai, saya mengira sebuah tempat yang aman untuk beristirahat sejenak. Tak terfikirkan waktu itu, sebagai tempat singgah semalaman. Pukul 19.00 rombongan telah turun dari puncak. "Grsskkkk," sedikit tergesa-gesa. Kondisi headlamp yang minim dan perbekalan air yang mulai menipis, berisitirahatlah sejenak di batu besar dengan kontur tanah sedikit landai tadi. Salah satu teman perempuan berinisial A mengalami cedera keseleo kakinya, hingga dituntun jalannya oleh R. Sejenak mendudukkan badannya, dengan tiba-tiba, "Mas, pingsan," si R bersitegang terdiam. Mas H segera memeriksa dengan sigap.
"Tolong Slepping Bag," mulanya dia telah mempersiapkan Flysheet sebagai alas istirahat kami semua. Segera direbahkan perempuan itu di slepping bag dan dibalutnya dengan aluminium foil sebagai penghangat, diberikan minyak kayu putih sekujur tubuhnya. Salah satu dari kami memberikan cahaya senter melalui headlamp maupun smartphone secara perlahan. Smartphone saya yang sedang menyalapun, sedikit mengabari pada grup WhatsApp mengenai keadaan di plawangan. "Posisi atas plawangan dikit, butuh bala bantuan Ini, A lagi sakit, tidak memungkinkan lanjut turun malam ini. Butuh bantuan+logistik
Bisa bantu?," Pesan itulah yang saya kirim dengan kondisi kami saling menguatkan.
Malam yang semakin gelap ditemani ribuan bintang tepat diatas kepala. Kami rombongan bertujuh membagi tugas, ada yang memasak air sebagai penghangat dan memasak mie instan untuk mengganjal perut lapar ini.
"Hipotermia" kondisi penurunan suhu tubuh secara dratis dan mengakibatkan kondisi jantung tidak berjalan normal. Pada puncaknya bisa mengalami halusinasi yang mulanya terasa menggigil kedinginan perlahan merasa kepanasan.
Sempat dilakukan CPR untuk menyadarkan si A. CPR adalah prosedur pertolongan, untuk menyelamatkan pasien henti jantung. Prosedurnya terdiri dari kompresi dada, membuka jalur napas, dan memberi napas buatan. "Amit ya, hsshh, shh, nyut, nyut," melakukan CPR perlahan. Terhitung dua kali melakukan proses tersebut dan akhirnya si A sadar. Kondisi kami yang sedang tegang dan serius menatap kejadian itu.
Setelahnya posisi kepala A harus lebih tinggi dari jantung ataupun dada, agar jalan keluar masuk oksigen tidak terhambat. "Tolong pegang leher kepalanya agak tinggi " sembari mas H berkomunikasi dengan A. Mbak S pula mengusap-usap telap tangannya dengan minyak kedalam tubuh A.
"Siapa namanya, ini siapa?," menjawablah dengan lancar si A. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk mempertahankan kondisi kesadaran korban agar pikiran tidak kosong. Secara tiba-tiba pingsanlah kembali si korban. "Huam....., Saben bengi nangis, tolong dikancani yo, ojo ditinggal," lirih dengan kondisi mimik muka memelas. Sedikit paniklah kami, "kesurupan atau halusinasi,"batinku. Seakan-akan bukan korban yang berbicara. Si senior mas H pun mencoba menjawab "Nggi, niki saksine rencang-rencang. Pun balik nggi," dengan nada lirih tepat disampingnya.
Selang beberapa detik korban sadar secara tiba-tiba "sssttt," salah dari kami berkomunikasi kembali. Apakah itu korban atau sosok yang lain. "Ini siapa?, Mau minum air hangat nga,?" Dijawab dengan anggukan kepala korban. Untunglah sudah kembali. "Tolong air hangatnya tadi," dituntunlah perlahan untuk meminum air hangat tersebut. Setelahnya si R memunggungi si A agar nyaman berisitirahat dengan bersandar pada badan R.
Mas H memberikan tugas kepada kedua teman saya, yaitu R dan L untuk menemani dan tetap berkomunikasi sama A. Sembari yang lain menyiapkan hidangan masakan untuk malam ini. Terdengar lirih pembicaraan antar ketiga. "Nanti beli mie ayam ya," ujar si laki-laki berinisial R itu.
Beberapa waktu banyak yang mereka bicarakan. Tak berselang lama mie pun matang. Ketiga teman, saya berikan semankok mie, dengan harapan dapat mengganjal dan memberikan rasa hangat dalam tubuhnya. "Iki, barengan ya mie e," ujarku.
Teringat perbekalan yang ada di salah satu tas kami, terdapat satu kaleng sarden dan sisa satu nasi bungkus yang telah kering dan dingin. Bergegaslah kami nyalakan kompor, memasak menjadi satu antara sarden dan nasi tersebut. "Ceklek, mas iki dadi siji ae," dicampurlah keduanya, diaduk hingga merata. Setelah matang, disuapi satu persatu oleh senior tertua kami. "Yok maem, hmm. Protein Iki," enak jawabku. Sembari menyuapi teman-teman yang lain bergantian, sendok demi sendok telah habis terbagi rata nasi sarden hangat tersebut. "Alhamdulillah," ucap rasa syukurku.
Kondisi hembusan angin yang terdengar dari kejauhan "wus, wus, wus," tidak memungkinkan bagi kami untuk turun kebawah. Sejenak menenangkan pikiran secara bersama. Saya cek balasan WhatsApp dari teman-teman di pos 5 Mangkhutoromo. "Tetap jaga kehangatan kalian dengan cara berpelukan dan api. Tetap koordinasi, iki sumpah gaiso karo tim sar e ****. Mereka iki wes omong lek lepas tangan," dengan sedikit membual. Mengingat kondisi kami yang semakin kedinginan, terlebih lagi tiada bala bantuan dari pihak yang berwenang. Sebuah keputusan yang tepat beristirahat disini.
Flysheet tadi dibagilah secara merata, bagaimana caranya agar cukup menjadi alas ketujuh orang. Sambil berpelukan erat agar tidak kedinginan. Namun apalah daya, saya tidak kebagian flysheet dan mendapat bagian paling pojok tepat di samping tas Carrier yang kami gunakan untuk membawa beberapa logistik dan perlengkapan. "Husss, dingin," sedikit menggigil sambil mengusap-usap kedua telapak tangan.
Agaknya saya tidak bisa tidur kali ini, meskipun berbagai cara, seperti tas carrier saya gunakan sebagai alas tidur. Berpindah tempat di sebelah pojok lain yang terhalangi oleh batu dengan harapan sedikit hangat. Namun tetap sama tidak bisa tidur. Seakan alam memberikan tanda untuk menjaga teman-teman yang sedang berpelukan dari tidur pulasnya. Saya pandangi gemerlap langit, terlihat dibawah lampu-lampu rumah penduduk menerangi kesunyian malam. "Hmm, dingin," menarik nafas dalam-dalam perlahan saya hembuskan. Kondisi saya tepat di sebelah L, agaknya sedikit khawatir jika L ikut kedinginan. Saya siasati dengan menumpuk tas carier hingga menutupi badannya.
Menuju tengah malam, hari semakin dingin menusuk kedalam pori-pori kulit. Saya nyalakan kompor portabel kecil berwarna merah itu, perlahan menuangkan air. "Huhhhh," sembari mengusapkan telapak tangan diantara api-api yang menyala. "Mbak S, ini tidak ada yang menemani saya," celetuk ku kepada senior perempuan itu. "Gruskk, grskk, sek, sek iki mas A kademen pisan,"
"Wusss. Blubuk, blubuk," menandakan air sudah mendidih, uap air semakin mengebul, saya singkap pada kedua telapak tangan. "Slurppss," legah rasanya meminum air hangat. Tiba-tiba, "Eh, ada aluminium foil lagi," tanya senior perempuan itu. Bergegas saya ambil alumunium foil yang melekat pada tubuh si A, kebetulan dia memakai dua alumunium foil dan kami hanya membawa itu saja."Tak ambil satu alumunium foil e," perlahan saya lepas satu alumunium foil tersebut. "Ini mbak, bungkus itu mas A kasih minyak,"
Saya hidupkan kompor kembali dengan harapan mereda dinginnya tengah malam itu, bahkan diatas tungku kompor kecil itu, saya taruh ranting-ranting kayu. Agar sedikit membesar api-api itu. Tak berselang lama, kondisi mas A kian membaik. Akhirnya mbak S dan mas A menemani saya di tengah kesunyian malam tadi. "Eh, ngae kopi enak Iki," saya tuangkan sedikit air. "Besarin ae kompor e, di tasku ada satu kaleng gas masih penuh," ucap mas A. Beberapa menit kemudian air mulai mendidih, saya seduh kopi lengkap dengan gulanya. Diaduk perlahan, "nih, mas, mbak. Lumayan anget," diseruputlah pelan dan secara bergantian kopi hitam itu.
Kira-kira pukul 02.00 pagi, kami bertiga tepat dihadapan kompor mungkil itu sejak tadi, kobaran ranting kayu, sedikit menghangatkan tubuh kami. Beberapa saat kemudian mbak S, menghampiri L. Seperti sedang menggigil kedinginan. "Minyak kayu putih nengndi," tanya mbak S. "Waduh, benar ternyata si L kedinginan, tumpukan tas Carrier untuk menghalangi badan dari angin malam tidak mempan ternyata," ucapku dalam hati.
Setelah mengusapkan minyak tersebut. Mbak S membangunkan mas H. "Mas, L kademen Iki," bergegas mas H bangun dari tidurnya. "Alumunium foil, Slepping Bag, cepet-cepet,"
Saya hampiri si A yang memakai Slepping Bag tadi, "wis mendingan,?" Si A dalam pelukan R itu menjawab dengan lirih. Segera saya lepas perlahan Slepping Bag tersebut. "Bungkus ngae alumunium foil sijine, terus slepping bag," ucap mas H.
"Huahhhh," si L mengagetkan kami semua. Tangannya seolah-olah ingin mencekik lehernya sendiri, kami tahanlah kedua tangannya, sembari mbak S memberikan minta kayu putih di sekujur tubuh L. Mulanya si L kesusahan bernafas, terlihat dari nafasnya yang terengah-engah. "Humm, ahh, hum ah," mas H, memberikan isyarat untuk bernafas secara perlahan, sembari memegangi lehernya agar sedikit lebih tinggi dari tubuh L.
Sekali pula mas H, memberikan pertolongan pertama berupa CPR, dan Alhamdulillah langsung tersadarkan diri. Kondisi L yang kian lemas, membuat sedikit khawatir bagi kami. Matanya terlihat sayu, sedikit kemerahan. Beberapa dari kami berkomunikasi dengannya. "Buka mata L," ucap mas A. Tak lama matanya terpenjam beberapa detik, tiba-tiba melotot itu mata. "Waduh, ada apa lagi ini," batinku.
Berulang kali si L merosot kebawah karena memberontak. Kontur tanah agak landai tersebut membuat kamu sedikit kesusahan menanganinya. "Yok. Satu, dua, tiga. Angkat lagi agak keatas,"
"Ahhhhh, Enje'. Enje'," teriak L dengan tangan ingin mencekik lehernya. Kami segera memegangi tangannya dengan kuat. Pemberontak tangan L kuat pula. "Waduh, pripun. Kudu nyerah ae arek iki," ucap mas H. Tak lama kembali sadar si L, tak lama pula si L berubah menjadi diri yang lain. "Abi, Abi," sambil berbicara bahasa Madura, yang beberapa kami tidak pahami. Namun untungnya terdapat mas A, yang paham bahasa Madura dan mengajak komunikasi dengan bahasa Madura.
Menuju sepertiga malam, kondisi L tak kunjung membaik. Berulang kali sadar, namun berulang kali pula bukan menjadi dirinya sendiri. Mas H, memberikan wejangan, "Yang lain jangan kosong pikiran, A udah enakan?," tanyanya. Si A menjawab dengan perlahan "Nggi mas," Tetap di pake alumunium foil e ya.
Teringat kembang kantil yang diberikan kepada L di Sendang Dewi Kunti. Mas H, menyuruh R mencari kembang kantil tersebut di tas Carrier L. Dicarilah secara pelan-pelan. "Iki mas," disodorkan kembang kantil tersebut oleh R.
Lalu R, merebus air sebagai penghangat kami semua. Mas H menyodorkan kembang kantil tersebut, namun tidak ada reaksi apapun dari L. Si L bereaksi mengucapkan "dingin, kepalaku," segera aku tempelkan salon pas sebagai penghangat, meskipun terlampaui panas nantinya. Malam yang mencekam tak kunjung berakhir, sorot lampu-lampu rumah penduduk menghiasi sepertiga malam itu. Tepat satu jam lebih, mas A berkomunikasi dengan bahasa Madura bersama L, meskipun arah omongan tersebut tidak kami mengerti.
Tiba-tiba L, semakin memberontak dan berteriak kencang ditengah-tengah kesunyian rimba Arjuno. Hal itu membuat saya merinding seketika. "Ahhhhh huahhhh, huahhhh akhhhhh akkkkhhh," tangannya tetap memberontak ingin mencekik lehernya. Beberapa dari kami berganti memegangi tangan si L yang terlampau kuat memberontak. "Tenang, nggi, ayo balik ke L," ucap mas H. "Ahhhhh huahhhh, huahhhh akhhhhh akkkkhhh," teriak L terhitung tiga kali berturut-turut dan melakukan gerakan yang sama seperti sebelumnya. Teringat smartphone saya yang memiliki iringan musik surah-surah pendek. Saya alunkan surah Yasin saat itu, sambil membacakan secara perlahan bersama mbak S "Bismillahirrahmanirrahim. Yassiin. Wal-Qur-aanil-Hakiim. Innaka laminal mursaliin. Alaa Siraatim Mustaqiim..........Salamun Qaulam Mirrabir Rahim......fa sub-ḥānallażī biyadihī malakụtu kulli syai`iw wa ilaihi turja'ụn," setelahnya saya mencoba membacakan ayat kursi, dengan harapan segera teratasi segala persoalan ini.
Ketika mas A, berkomunikasi dengan bahasa Madura, si L hanya mengangguk-agguk saja. Sedikit membuat kesal kami semua "Iyut, lagghu'a mole de kancah," ungkap mas A. Sesekali mengangguk si L juga tersenyum tipis. Kami mencoba tabah dan menyerahkan semuanya kepada Allah SWT. Lantunan syahada saya ucapkan perlahan "Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah,"
Si A kondisinya yang mulai membaikpun mencoba mendekati L. "Tatap mataku, jangan lihat yang lain," ucap dengan tegas si A. Tatapan tajam antara A dan L ternyata hanya sesaat. Si L rasanya tak kuat menahan mata yang sayu itu, ketika melihat pada sisi lain, si L tiba-tiba kembali pada bukan dirinya kesurupan. "Gelap, gelap, gelap," ucap L. Di soroti lah wajahnya dengan senter oleh mas A. Pertanda apa ini, kok gelap, gelap. Si L dan A saling bertatapan kembali, tak lama L berpaling tatapannya tepat di samping R, dengan tiba-tiba. "Hihixixi," lemas tubuhnya. "He ayo, tatap mataku. Jangan tatap ke arah yang lain," ucap A.
Tidak berselang lama, lantunan shalawat tarhim terdengar sangat pelan dari kejauhan. Memasuki waktu shubuh sedikit membaik pula keadaan waktu itu. Terbangun lagi si L, "ini siapa, ini siapa," ditanyailah kepada si A dan si L menjawab dengan tepat. "Alhamdulillah," batinku.
"Kenapa badanku di bungkus," ucap L. Kami pun menjawab agar tidak kedinginan tadi. Sedikit tertawa lah saya dalam hati. Agap saja mencairkan kondisi badan yang dingin ini. "Kakiku dingin," dengan sigap mas H menutupi kaki L dengan Flysheet dan memeluknya.
Ketika L mulai membaik, saya suruhlah beristighfar dengan tuntunan. "Astaghfirullah hal adzim. Astaghfirullah hal adzim. Astaghfirullah hal adzim," diikutilah pelan-pelan olehnya. Berulang kali ucapan dzikir telah dilantunkan. "Astaghfirullah, astaghfirullah," ucap L dengan lirih dan lemas
Disaat benar-benar membaik si L merasa kepanasan pada kepalanya, benar saja salon pas yang saya tempelkan bereaksi dengan cepat. "Bentar ya, tak lepas e," sedikit tertawalah saya. Mas H bertanya, "mau minum nga," dituntunlah pelan-pelan untuk minum air hangat itu oleh si A. Sembari mengajak ngobrol agar tetap sadar, si R dan A bertanya, "Mau apa L," dijawab dengan nada kesal "Enje',"
"Mau tidur, ngantuk aku," desak L. Kami tidak memperbolehkan dia tidur, takutnya kembali seperti tadi. "Iya habis ini boleh tidur, tunggu bentar," ucap A. "Jahat kalian, ngantuk aku. Nga boleh tidur," Waduh, pikirku bukan jahat ini, demi kebaikan dan kesejahteraan bersama jangan tidur dulu. Balik lagi, ngeri.
Kondisi hembusan angin tipis menjelang subuh memberikan tanda kami semua mulai membaik. Si L dan A akhirnya tidur saling berpelukan untuk menjaga rasa hangat, tidak lupa mas H tidur tepat di bawah L untuk memeluk sekujur kakinya. Tidak lupa dengan R yang tidur tepat di belakang A. Begitupula saya mencoba tidur karena semalam tidak bisa tidur ditengah menggigilnya tubuh ini. Mas A dan Mbak S nyatanya tidak bisa tidur, sedikit terdengar senda gurau mereka berdua. Sambil menyalakan kompor dan ranting menghangatkan tubuhnya.
Tidurlah
Malam terlalu malam,
Tidurlah
Pagi terlalu pagi,
Dan pagi takkan terisi lagi,
Lonceng bertingkah sebagaimana mestinya
Membangunkan orang tanpa membagi
Sedikit asmara untuk memulai hari,
Tidurlah~