Kronologi Versi Keluarga
Hasya hendak ke indekos temannya dengan menggunakan motor, setibanya di jalan Srengseng Sawah Jagakarsa ada motor didepannya yang hendak berbelok ke kanan, Hasya berusaha mengindari dengan mengerem, namun jatuh kekanan. Pajero yang dikendarai AKBP (Purn) Eko Setia Budi muncul dari arah berlawanan, menabrak Hasya. Setelah itu beberapa warga yang berada di lokasi menolong dan meminta Eko menolong Hasya untuk dilarikan ke rumah sakit, namun Eko menolak.
Kronologi Versi Polisi
Hasya mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan 60km/jam, kondisi saat itu hujan dan licin, kemudian Hasya banting stir kekanan untuk mengindari kendaraan yang didepannya. Hasya tergelincir, Pajero yang dikendarai Eko datang dari arah berlawanan, Eko tidak bisa menghindar dan akhirnya menabrak Hasya.
Atas kejadian tersebut Hasya dinyatakan meninggal dunia karena terlambat mendapatkan pertolongan pada saat dibawah ke rumah sakit, yang sangat disayangkan adalah Eko sebagai penabrak tidak mau menolong Hasya berdasarkan kesaksian warga setempat. Jika Eko sebagai penabrak bertanggungjawab, tidak menutup kemungkinan nyawa Hasya bisa terselamatkan. Apalagi Eko adalah mantan Kapolsek, hati nuraninya terenyuh seharusnya jika mengalami kejadian tersebut, apakah yang dilakukan selama menjabat menjadi polisi hingga masa pensiun tersebut, tugas polisi adalah mengayomi dan menjaga masyarakat.
Menuntut Keadilan
Pada suatu ketika saat orang tua Hasya yaitu, Ira sapaan dari Dwi Syafiera Putri mengatakan pada awal Desember 2022 dia dan suaminya Adi, diundang ke Subdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya, Pancoran, Jakarta Selatan. Dengan tujuan pihak Eko berupaya berdamai. Namun naasnya terdapat satu polisi yang berkata pada saat mediasi tersebut bahwa posisi mereka lemah." Udah bu damai saja. Karena posisi anak ibu sangat lemah,"
Ayah korban bertanya, "mana yang nabrak anak saya?"
Pensiunan polisi seketika berdiri dan menjawab "saya yang menabrak, saya yang melindas anak bapak. Bapak mau apa?" Sungguh ironi percakapan tersebut, seolah olah tidak memiliki perasaan. Jika orang memiliki hati nurani, attitude, dan empati akan meminta maaf dan bertanggungjawab atas kejadian tersebut. Jika dilakukan mediasi dengan baik, mengingat kondisi kekejadian tersebut takdir dan dalam kondisi cuaca tidak bersahabat (hujan). Orang jika memiliki super power akan merasa dirinya paling tinggi dari yang lain. Pensiunan polisi juga mendapat uang dari hasil pajak rakyat, tidak sepantasnya merendahkan rakyat sedemikian rupa. Polisi tidur saja bikin susah kalo ketinggian apalagi yang seperti ini.
Jika dikaitakan dengan kejadian Anak-anak yang menyetop truk di jalan demi konten sosial media, sang supir malah dijadikan tersangka. Supir hanya bekerja, mengantarkan barang dan sebagainya, tidak tahu-menahu, tiba-tiba dijadikan tersangka karena menabrak anak-anak konyol tersebut. Standar ganda bukan? Jika orang yang mempunyai kekuasaan akan lebih mudah menghadapi permasalahan, daripada orang biasa. Kuatnya Backing-an akan lebih mempermudah menjalani kehidupan ini atas kejadian yang akan datang.
Semakin hari semakin banyak permasalahan dari Institut Kepolisian seakan-akan beringas memutarbalikkan fakta, jika ada aparat maupun dari pihak kepolisian yang terlibat suatu kasus, hingga proses hukum dinomorduakan. Semakin menutupi bangkai, lambat laun akan tercium lebih dekat apa yang menjadi inti permasalahan didalamnya. Menutupi demi memperbaiki citra baik dengan hal konyol, akan membuat semakin terlihat kebobrokan yang berada didalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar