Jumat, 21 Juli 2023

Sejengkal Arjuno


Pertama kali melihatnya tepat 5 tahun lalu. Kebetulan pula saya suka berjalan-jalan pagi menikmati udara yang segar di kota metropolitan Sidoarjo. Nampak bentuk gagah dan menjulang tinggi, dengan hiasan lampu yang nampak dari kejauhan mengitari lerengnya.

Waktu itu, saya belum tahu kalau itu Gunung Arjuno Welirang dengan berpunggungan Gunung Penanggungan. Lambat laun saya mengetahui bahwa itu gunung Arjuno Welirang dan menampakkan kaki saya ke jalur pendakian Tamiajeng Gunung Penanggungan tepat pada 2019 lalu.

Kini 12 Juli 2023 sangat jelas gunung Arjuno. Saya bersama 14 orang berada tepat di dusun Tambak Watu, desa Tambak Sari, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan. Mulanya sampai disana tengah malam. Suasana sunyi dan dingin mulai memasuki perlahan ke dalam tubuh yang belum beradaptasi. Bayangkan saja awalnya berada pada dataran rendah yang notabenenya panas, tiba-tiba berada pada dataran tinggi yang dingin sekali.

Ini bukanlah suatu yang kebetulan, berada pada lereng Arjuno merupakan sebuah rencana. Yap saya bersama rombongan akan mendaki gunung Arjuno via Purwosari. 

Setelah bergelut dengan dinginnya malam, tidur beralaskan matras, tak seenak tidur di kota beralaskan kasur empuk nan lembut. Tiba-tiba  terbangun tepat di depan basecamp perizinan pendakian. "Oh ya, saya kan tidur disini semalam," gumam saya.

Embun pagi masih menghiasi sekeliling, beberapa warga desa mulai keluar dari rumah setelah semalaman beristirahat melepas penat. Saya berjalan sejenak, mengamati sekitar. "Wah, matahari mulai menampakkan wujudnya,” sedikit terdiam. Pikirku jika matahari mulai bersinar, agaknya mulai hangat tubuh ini. 

Mataharipun benar-benar menjulang ke langit, awalnya berwarna jingga sedikit temaram. Banyak warga desa mulai beraktivitas. Sembari duduk di pos, tepat di pinggir jalan beraspal beton yang menanjak, layaknya jalan pegunungan. Saya berbincang sejenak, bersama bapak tua kira-kira berumur 50 tahun keatas. "Monggo, pak, kulo lenggah nggi," bapak yang memakai jaket lengkap dengan sarungnya pun membalas dengan lemah lembut, sambil menghisap rokoknya. 

Beberapa perbincangan yang kami lakukan, salah satunya mengenai banyaknya petilasan di gunung Arjuno via Purwosari. Hal yang cukup mengejutkan bagi saya adalah, banyaknya warga luar maupun dalam yang kerap melakukan petapaan. Beberapa saat setelahnya bapak yang bernama Budiman asal Tebet Jakarta Selatan tersebut menyeletuk. "Semar kok di celuk eyang, sing pantes diceluk sebenarnya eyang Adam hawa,"

Sambil melanjutkan ceritanya dan menawarkan rokoknya kepada saya, kebetulan saya tidak merokok dan cukup memberitahu, "nggi pak, matur nuwun, mboten ngerokok kulo," 

Jika dilihat secara detail pak Budiman, meskipun bukan orang asli sini. Namun secara keseluruhan seperti orang lokal yang lama tinggal di dusun Tambak Watu tersebut. Tidak memakai alas kaki, membuat banyak goresan dan kulit kering melekat erat di sekujur telapak kakinya.

Tak terasa dua batang rokok Gunung Cengkeh telah habis dihisapnya dan menghidupkan rokok ketiganya. "Nang nduwur, akeh wong sesat mas. Patung disembah, slametan dipatung. Kulo mboten sepahaman kale tiang niku,”

Saya seorang yang awam dalam hal begituan, nampaknya mengangguk saja. Terlebih lagi, cukup menghormati tanpa harus mengikutinya. 

Sejenak saya melihat handphone, pukul 06.56 ternyata. Terlihat dari kejauhan teman-teman terlihat dari kejauhan, sedang asik mondar-mandir memandangiku. "Wah nampaknya, sudah waktunya sarapan," pikirku. Toh biarin saja, nanggung lagi asik ngobrol dengan si Bapak.

Sejenak mematikan rokoknya yang terhitung ketiga kali, pak Budiman mengatakan bahwa dirinya hanya mandi setahun sekali. Cukup takjublah saya, "Mengapa demikian?," Tanyaku dalam hati. Tak lama beliau menjawab, seakan cenayang bisa membaca pikiranku. "Sing penting adus ati ambek lambene. Bismillah, bismillah dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang," ungkapnya.

Badan kita yang bersih ini, mandi setiap hari. Pakaian bersih, bagus. Akan percuma jika hati kita kotor. Itulah ungkapnya. Eh dipikir-pikir betul juga. Mereka-mereka yang bersih, rapi, wangi, berdasipun pantas di sebut maling bukan? Korupsi dimana-mana, rakyat kecilpun yang susah.

Tak terasa saya telah mengobrol dengan pak Budiman selama beberapa jam, tak terasa pula banyak warga yang melintasi jalanan dengan motor khas pegunungan yang gahar. Suara cempreng melewati jalanan menanjak itu. "Oh, ternyata banyak warga yang ingin berkebun, eh mata pencaharian warga sini apa ya? Teh? Kopi? Cengkeh?," Rasa penasaran semakin menggebu-gebu, membeku sejenak.



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pawon: Peparing Mawon Acara Memperingati Satu Suro Di kaki Gunung Arjuno

17 Juli 2023 Pukul 15.20 saya dan rombongan tiba di pos 1 Ontobugo. Kegiranganlah saya, setelah beberapa hari berada pada rimba ...