Bersyukur inilah yang terbesit dalam benak kepala setelah membaca buku ini. Frankl sang penulis memaknai sebuah kehidupan menjadi tiga kategori yaitu, dalam bekerja berusaha melakukan suatu hal yang penting, dalam mencintai dengan peduli terhadap orang lain, dan berani mengambil resiko disaat-saat sulit.
Judul : Man's Search For Meaning
Karya : Viktor E. Frank
Penerjemah: Harus Priyatna
Penerbit : Noura Books (PT Mizan Publika(
ISBN : 978-602-385-416-5
Tentang Penulis
Viktor Emil Prankl lahir di Wina, Austria pada tahun 1905. Ibunya bernama Elsa Frankl Nee Lion berasal dari Praha. Ayahnya bernama Gabriel Frankl, seorang Direktur Kementerian Sosial yang berasal dari Moravia Selatan. Seluruh keluarganya meninggal di kamp konsentrasi Auschwitz Nazi. Frankl berhasil selamat dan berjuang setelah menemukan makna dalam menghadapi kesulitan-kesulitan selama di kamp tersebut. Selama itu pula Frankl memvalidasi psikoterapi hasil dari selama hidup di kamp konsentrasi yang dikenal sebagai Logoterapi. Frankl meninggal pada 1997 di Wina, Austria karena gagal jantung.
Kilas balik
Bermula pada era 1930-an sebagaimana banyaknya warga Yahudi Jerman dan Eropa Timur yang dibinasakan atau lebih dikenal dengan sebutan Holocaust. Holocaust merupakan pembantaian warga Yahudi yang menjadi tawanan oleh rezim Nazi Jerman.
Dilansir dari encyclopedia.ushmm.org, hal tersebut dikarenakan rezim Nazi Jerman berupaya mengkambing hitamkan kaum Yahudi atas kekalahan Perang Dunia 1 yang terjadi antara 1914-1918. Nazi juga menganggap Yahudi menjadi penyebab timbulnya masalah sosial ekonomi di Jerman pada saat itu.
Pada akhirnya Aldolf Hitler pada tahun 1941 sebagai pemimpin Nazi, mengatakan solusi terakhir untuk mengatasi permasalah Yahudi adalah pembantaian massal. Pembantaian tersebut lah yang dirasakan oleh Frankl selama tiga tahun di kamp konsentrasi Nazi.
"Penderitaan itu sejatinya tidak memiliki makna; kitalah yang memberi makna pada penderitaan melalui cara kita menghadapinya."
Selama 3 tahun hidup di kamp tersebut Frankl bersama tawanan lainnya kerap melakukan kerja paksa seperti, memperbaiki rel kereta api dengan memberi kerikil-kerikil di tengah tiupan badai salju dan juga mengangkut potongan balok panjang yang tertatih-tatih. Bahkan sekelompok tawanan terjatuh menyusuri jalan licin sambil memanggul balok tersebut.
Jatah makanan parah tawanan hanya sup yang sangat encer dengan sedikit roti yang dibagikan selama sehari sekali. Namun pada beberapa waktu tawanan diberikan jatah tambhan yang berisi tugas seperempat ons mentega, sepotong sosial atau keju, sedikit madu sintetis dan sesendok selai encer. Makanan tersebut berubah-ubah setiap harinya. Melalui beratnya penderitaan, pawa tawanan kerap berhalusinasi maupun bermimpi untuk mendapatkan roti, kue, rokok dan mandi air hangat, sehingga tawanan mencari pemuasan dengan cara berkhayal mendapatkan hal sederhana yang diinginkan.
Banyaknya tawanan bekerja paksa dengan kondisi gizi makanan yang tidak layak membuat banyaknya korba jiwa meninggal akibat kelelahan, kelaparan dan kedinginan. Pada musik semi dan musim dingin 1945 wabah tifus banyak tawanan terjangkit hingga korban kematian menjulang tinggi.
Pada masa akhir penderitaan para tawanan berusaha menumbuhkan keberanian untuk menghadapi masa depan. Bahwa ada manusia lain menunggu kepulangan mereka. Namun nyatanya para tawanan justru banyak kehilangan sanak keluarganya. Pada akhirnya tawanan yang dibebaskan pada masanya mengenang kembali penderitaan dan mengatasi hal-hal tersebut. Bahwa pengalaman akan muncul perasaan senang setelah penderitaan buang dijalani tanpa perlu memikirkan ketakutan-ketakutan yang akan datang.
Melalui pemikiran dan pengalaman Frankl selama hidup di kamp konsentrasi Auschwitz tersebut, memberikan banyak sekali pencerahan. Dengan bersyukur dan menemukan makna hidup yang sederhana. Membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dari manusia lainnya. Pemikiran psikologis Frankl layak dibaca khususnya para individu-individu yang kerap putus asa menjalani kehidupan di dunia ini. Penderitaan tersebut bukanlah akhir dari kehidupan di dunia ini. Jika kita mampu menghadapinya, maka penderitaan tersebut tidak seburuk apa yang dirasakan oleh diri sendiri maupun orang lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar