Disambutlah kami dengan hajatan dengan dua buah tenda berbentuk kerucut. Lengkap dengan meja persegi panjang terbentang dari ujung tenda. Pada sisi kiri terdapat dua termos stainless bertuliskan wedang kopi gratis dan wedang sekoteng gratis lengkap dengan gelas yang bertumpuk-tumpuk. Pada sisi kanan terdapat sebuah wadah berisikan lauk tahu, tempe, ikan, sayuran kubis dan terong lengkap dengan bumbu pecel satu baskom. Tak lupa dua buah termos nasi besar lengkap dengan piring sendok di sebelahnya. Satu lagi buah melon yang telah dipotong nampak segar sekali. Teringat pada saat di pos 4 eyang Semar saat perjalanan turun, saya menginginkan buah-buahan. "Hmm makan buah enak nih, segar,"
Kondisi saat itu ramai sekali, bapak-bapak, ibu-ibu dan beberapa anak-anak berusia 10 tahun keatas berada pada area itu. "Ayo, pasang lampu iki," ucap bapak-bapak bekerja sama memasang lampu pada area sekitar. Tidak lupa ibu-ibu memotong terong dan beberapa sayuran lainnya. Beberapa yang lain sedang menggoreng dan memasak bahan makanan lainnya. "Monggo, mas , mbak. Makan gratis,"
Pada mulanya, kami dan rombongan sepakat akan memasak makanan setiba di pos 1 Ontobugo. Namun Allah berkehendak lain dan menggagalkan rencana kami, hingga Mengantinya dengan rencana paling baik.
Berbarislah kami mengantre mengambil satu persatu lauk. Saya ambil sepiring nasi, dua potong tempe dan tiga potong tahu. Sayuran terong, kubis lengkap dengan kucuran bumbu pecel yang kental. Tak lupa mengambil sepotong buah melon yang menggoda sedari tadi. "Waw, wedang sekoteng tuh apa ya," tanya dalam hati. Saya ambillah segelas wedang tersebut, sembari duduk di depan pelataran pondok petilasan.
Sesuap demi sesuap nasi pecel itu nikmat rasanya. Tak lama saya ingin merasakan apa itu wedang sekoteng. "Slurppss, shh ahhh," rasanya hangat di tenggorokan, rupanya terdapat campuran jahe dan gula merah pada wedang sekoteng tersebut. Ciri khas rasa manis gula merah terasa begitu pas ditambah rasa hangat sedikit pedas dari campuran jahe. Sekoteng sendiri minum khas Jawa yang memiliki arti nyokot weteng, saya mengartikan minuman yang menghangatkan badan, mulai dari tenggorokan hingga perut.
"Mau nyoba, wedang sekoteng nga?," Sembari menyodorkan gelas berisi wedang tersebut kepada teman asal Madura dan Banten itu. Saya kira dia belum pernah meminumnya. Diminumlah perlahan.
"Sek tak ngambil melon," rupa-rupa perempuan itu tidak sekalian mengambil buah berwarna hijau cerah menggugah selera. Saya lanjutlah menghabiskan nasi pecel tersebut, dilanjutkan memakan sepotong buah melon itu sebagai penutup.
"Monggo mas, mbak. Menawi nge-charge handphone, teng mriki," Alhamdulillah. kebetulan baterai handphone kami semua habis.bergegas saya meminjam charger dengan harapan terisi daya handphone untuk mengabari kedua orang tua, bahwa telah sampai dan mendekati basecamp perizinan.
Saya lihat spanduk besar terpampang jelas pada tenda kerucut bertuliskan Pawon-Peparing Mawon dan Selamat Datang Para Tamu- Grebeg Suro Romantis Gunung Arjuno. Bertanya-tanyalah dalam hati. "Apa ya hubungan Suro dengan ini semua,"
Saya hampirilah teman-teman tepat di depan petilasan Goa Ontobugo. Kebetulan mereka sedang duduk santai mengobrol dengan bapak-bapak kiranya berusia 50 tahun keatas. "Nyuwun Sewu pak, artinipun Pawon-Peparing Mawon niku nopo nggi," tanya kepada bapak itu. "Nggi niku mas Peparing mawon- Maringi, mengasihi, dikasih aja. Dari saya, kami untuk semua,"
Bapak-bapak berkaca mata yang menyebutkan dirinya sebagai Abah ribut asal Krian Sidoarjo menjelaskan, bahwa Pawon-Peparing Mawon ini sebuah paguyuban atau yayasan yang bernama Wong Bodho asal Gresik Jawa timur. Pendiri yayasan Wong Bodho adalah Kiai Sukhoiri asal Menganti Gresik. Mulanya pendirian yayasan tersebut atas dorongan diri sendiri untuk menolong seseorang. Beranggotakan dari berbagai warga asal Jawa timur hingga beragam agama yang telah bergabung pada yayasan Wong Bodho paguyuban Pawon. Dengan tujuan menjalin kebersamaan merendahkan hati dan saling tolong menolong.
"Kulo nggi seorang penghayat, percaya bahwa nenek moyang kita ada. Maka dari itu kita menghormati dan mengasihi orang-orang sekitar juga," ungkap Abah Ribut yang memakai topi laken fedora berwarna hitam.
Saya penasaran, mengadakan acara sedemikian rupa di kaki gunung Arjuno tidaklah murah biayanya. "Pembiayaan niki, saking sinten nggi pak," Abah ribut menjawab bahwa dana acara ini dari kesadaran diri sendiri antar anggota Pawon-Peparing Mawon. "Saya ada kelonggaran uang, kumpulkan bersama. Kita juga menjual kaos, dananya dari situ," imbuhnya.
Para tamu acara Grebeg Suro Romantis Gunung Arjuno tidak sebatas anggotanya saja. Baik pengunjung, peziarah, petapa dan pendaki. Acara tersebut telah berlangsung selama sepuluh tahun berturut-turut dan diadakan makan bersama-sama setiap satu suro. "Memperingati satu suro istilah tahun baru jawa. Kalau di Islam satu Muharam. Beberapa dari kita juga ada yang puasa, nah puncak hari rayanya ini Satu Suro. "Istilahnya kita merayakan kemenangan bersama dan saling mengasihi," jelas Abah Ribut.
Meskipun pada saat pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu, Pawon-Peparing Mawon tidak bisa mengadakan makan gratis. Namun mengganti dengan santunan anak yatim-piatu di kaki gunung Arjuno dusun Tambak Watu desa Tambak Wedi kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan. "Biarpun ada korona, anggaran kita ada. Dikasihkan ke yatim piatu di desa ini," imbuh pria asal Krian tersebut.
Hal yang menarik salah satunya adalah, tulisan pada kaos yang dipakai salah satu anggota Pawon. "Yo aku Iki, ngone salah" saya mengira kata-kata tersebut ada, akibat dari stigma masyarakat luar yang menggap aneh paguyuban Pawon, mengapa harus di Arjuno, banyaknya tempat petilasan, tempat sakral, tempat petapa. Abah ribut menjelaskan bahwa Cikal bakal tanah Jawa salah satunya adalah Arjuno. Kita mengenang dan menghormati nenek moyang, tanpa adanya mereka kita tidak akan lahir di dunia ini. "Wong Jawa ojo ilang jawane. Guyub rukun, toleransi lan ngajeni." Pungkas Abah ribut sembari berpamitan melanjutkan kegiatannya.
Di zaman yang modern ini, masih ada orang-orang baik seperti paguyuban Pawon yang peduli terhadap sesama. Menyisihkan sebagian hartanya untuk mengasihi orang-orang sekitarnya. Patut diacungi jempol, ditiru dan dihayati kebersamaan dan kemurahan hatinya.
Ojo dumeh, eling lan waspodo. Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar