Judul: Dalam Moncong Oligarki, Skandal Demokrasi di Indonesia
Penulis: F. Budi Hardiman
Penerbit: Kanisius Media (Anggota IKAPI)
Halaman: 112
Tahun terbit: 2013
ISBN: 978-979-21-3658-6
Buku ini dengan frontal menyinggung bobroknya demokrasi yang ada di Indonesia, terlihat jelas pada judulnya. buku karya F. Budi Hardiman, seseorang pengajar Filsafat Politik di Sekolah Tinggi Farmasi (STF) Driyarkara tersebut muncul karena dorongan dari koleganya di STF. Driyarkara saat Dies Natalis yang ke-44. Buku yang terbit pada tahun 2013 ini ditujukan merefleksikan 15 tahun demokrasi di Indonesia secara tegas dan lugas. Meskipun buku kecil dan tipis ini seolah-olah mudah dipahami, nyatanya perlu pemahaman lebih mendalam karena besar ataupun tipis buku memiliki pokok pembahasan tertentu, apalagi buku ini menyinggung bobroknya demokrasi yang ada di Indonesia.
Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan sistem politik demokrasi. Demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, serta kratos yaitu pemerintahan, jika lebih di perdalam maknanya berarti demokrasi dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat. Pemerintah sebagai tangan kanan rakyat, yang membantu jalannya sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara. Aristoteles seseorang ahli filsafat mengemukakan bahwa dalam tubuh demokrasi terdapat sebuah oligarki, oligarki adalah kekuasaan berada pada segelintir orang. Meskipun Indonesia adalah negara Demokrasi tidak lepas dari adanya oligarki untuk berlomba-lomba menguasai, melindungi diri sendiri dan kesejahteraan kelompoknya.
Terhitung saat Demokrasi lahir pertama kali di Indonesia, masih memiliki banyak kekurangan. Contohnya zaman Soeharto memimpin bangsa Indonesia selama 32 tahun, terdapat pembungkaman para aktivis oleh soeharto, salah satu bukti ialah peristiwa malam petaka lima belas Januari 1974 (Malari). Para demonstran dan aktivis menolak adanya perdana menteri Jepang Kakuei Tanaka melakukan investasi kepada Indonesia yang dianggap sebuah Imperialis gaya baru(menguasai dan memperoleh keuntungan dari negara yang dikuasai.) Dilanjutkan dengan Pers mengalami pembredelan setelah peristiwa tersebut, pemerintah orde baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers yang berisi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 yang tidak mengatur surat izin penerbitan pers. Contoh media seperti Tempo, Detik yang mengritik aturan dari orde Baru tersebut, berujung pada pembredelan
Alih alih sebagai media aspirasi rakyat, media mendapat ultimatum keras semenjak peristiwa tersebut karena dianggap kontra dengan kebijakan sosial dan ekonomi Soeharto. Lengsernya Soeharto pada Mei 1998, mengungkap keburukan Orde Baru layaknya Soeharto dianggap lebih mementingkan kroni-kroninya, dan terindikasi melakukan banyak korupsi salah satunya Kasus pada tahun 1995, ia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Isinya adalah mengimbau kepada para pengusaha untuk menyumbangkan 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Buku ini menyoroti peristiwa yang akan terjadi pada setahun setelah penerbitan. Yakni, pesta demokrasi tahun 2014, mengusung calon presiden Prabowo Subianto dengan rivalnya Joko widodo yang merupakan Gubernur baru Jakarta periode 15 Oktober 2012 hingga 16 Oktober 2013. Kedua belah pihak mempunyai latar belakang yang berbeda, Jokowi menjadi wali kota Surakarta 28 Juli 2005 hingga 1 Oktober 2012, sedangkan Prabowo merupakan lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI), menjabat posisi penting dalam karier militernya yaitu komandan jenderal Kopassus dan Panglima Komando Cadangan Strategis (Kontrad). Jika dilihat dari prestasi politik Jokowi lebih unggul, karena Prabowo juga pernah mencalonkan menjadi presiden 2009 tetapi mengalami kekalahan. Jika pada pemilihan presiden 2014 Jokowi mengalami kekalahan, akan kehilangan kedua Jabatannya sebagai presiden maupun walikota. Dengan begitu sudah jelas perlunya kesadaran rakyat memilih presiden yang memajukan bangsa Indonesia sesuai dengan backgroundnya.
Mendekati pemilihan presiden 2024, calon presiden masih belum pasti sejak tulisan ini dibuat, tak terkecuali Anies Baswedan yang sudah berani berkampanye dan menetapkan berkoalisi dengan Partai Nasdem. Sedangkan Tokoh politik seperti Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Puan maharani, dan Prabowo Subianto diprediksi kembali menuju panggung politik, meskipun sudah mengalami kekalahan beruntun semenjak pemilihan umum 2004 hingga 2019. Joko Widodo selaku Presiden yang masih aktif, berceletuk pada saat bertemu relawan di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) pada Sabtu(26/11) lalu mengatakan "sosok yang sering memikirkan rakyat itu ada yang berambut putih." Banyak yang beranggapan celetukan itu merujuk pada penampilan Ganjar Pranowo, namun hal tersebut bukanlah sesuatu yang saklek dan berbau oligarki. Pesta demokrasi mendekat, perlunya kewaspadaan kepada rakyat untuk bisa memilih kepala negara (presiden) tanpa 'titipan' dariu berbagai kalangan dan sesuai dengan hati nuraninya yang mengedepankan kemajuan bangsa dan rakyatnya.
Tubuh oligarki pada Demokrasi yang ada di Indonesia seakan-akan sulit dihapus, hingga saat ini secara tidak langsung masih berdiri kokoh, karena terindikasi sistem hukum di Indonesia mengalami ke-impotennan, akibat dari kepentingan kelompok oligarki yang ada didalamnya. Rakyat juga memiliki hak untuk melegislasi (mengawasi) pemerintahan dan hukum yang akan disahkan. Dengan adanya buku dalam moncong oligarki tersebut, diharapkan generasi penerus bangsa Indonesia tetap menegakkan demokrasi yang benar-benar memihak kepada rakyat, tanpa ada maksud terselubung untuk memperkaya diri sendiri dan golongannya. Semoga buku ini menjadi salah satu penguat bangsa Indonesia menuju kemajuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar