Minggu, 23 Juli 2023

Pawon: Peparing Mawon Acara Memperingati Satu Suro Di kaki Gunung Arjuno


17 Juli 2023 Pukul 15.20 saya dan rombongan tiba di pos 1 Ontobugo. Kegiranganlah saya, setelah beberapa hari berada pada rimba Arjuno. "Monggo, maka din, minum gratis. Monggo, makan, minum gratis," iringan suara tersebut melengking dari kejauhan. Setapak demi setapak menuruni kontur jalan tanah sedikit padat. 

Disambutlah kami dengan hajatan dengan dua buah tenda berbentuk kerucut. Lengkap dengan meja persegi panjang terbentang dari ujung tenda. Pada sisi kiri terdapat dua termos stainless bertuliskan wedang kopi gratis dan wedang sekoteng gratis lengkap dengan gelas yang bertumpuk-tumpuk. Pada sisi kanan terdapat sebuah wadah berisikan lauk tahu, tempe, ikan, sayuran kubis dan terong lengkap dengan bumbu pecel satu baskom. Tak lupa dua buah termos nasi besar lengkap dengan piring sendok di sebelahnya. Satu lagi buah melon yang telah dipotong nampak segar sekali. Teringat pada saat di pos 4 eyang Semar saat perjalanan turun, saya menginginkan buah-buahan. "Hmm makan buah enak nih, segar,"

 Kondisi saat itu ramai sekali, bapak-bapak, ibu-ibu dan beberapa anak-anak berusia 10 tahun keatas berada pada area itu. "Ayo, pasang lampu iki," ucap bapak-bapak bekerja sama memasang lampu pada area sekitar. Tidak lupa ibu-ibu memotong terong dan beberapa sayuran lainnya. Beberapa yang lain sedang menggoreng dan memasak bahan makanan lainnya. "Monggo, mas , mbak. Makan gratis," 

Pada mulanya, kami dan rombongan sepakat akan memasak makanan setiba di pos 1 Ontobugo. Namun Allah berkehendak lain dan menggagalkan rencana kami, hingga Mengantinya dengan rencana paling baik. 

Berbarislah kami mengantre mengambil satu persatu lauk. Saya ambil sepiring nasi, dua potong tempe dan tiga potong tahu. Sayuran terong, kubis lengkap dengan kucuran bumbu pecel yang kental. Tak lupa mengambil sepotong buah melon yang menggoda sedari tadi. "Waw, wedang sekoteng tuh apa ya," tanya dalam hati. Saya ambillah segelas wedang tersebut, sembari duduk di depan pelataran pondok petilasan. 

Sesuap demi sesuap nasi pecel itu nikmat rasanya. Tak lama saya ingin merasakan apa itu wedang sekoteng. "Slurppss, shh ahhh," rasanya hangat di tenggorokan, rupanya terdapat campuran jahe dan gula merah pada wedang sekoteng tersebut. Ciri khas rasa manis gula merah terasa begitu pas ditambah rasa hangat sedikit pedas dari campuran jahe. Sekoteng sendiri minum khas Jawa yang memiliki arti nyokot weteng, saya mengartikan minuman yang menghangatkan badan, mulai dari tenggorokan hingga perut.

"Mau nyoba, wedang sekoteng nga?," Sembari menyodorkan gelas berisi wedang tersebut kepada teman asal Madura dan Banten itu. Saya kira dia belum pernah meminumnya. Diminumlah perlahan. 

"Sek tak ngambil melon," rupa-rupa perempuan itu tidak sekalian mengambil buah berwarna hijau cerah menggugah selera. Saya lanjutlah menghabiskan nasi pecel tersebut, dilanjutkan memakan sepotong buah melon itu sebagai penutup.

"Monggo mas, mbak. Menawi nge-charge handphone, teng mriki," Alhamdulillah. kebetulan baterai handphone kami semua habis.bergegas saya meminjam charger dengan harapan terisi daya handphone untuk mengabari kedua orang tua, bahwa telah sampai dan mendekati basecamp perizinan.

Saya lihat spanduk besar terpampang jelas pada tenda kerucut bertuliskan Pawon-Peparing Mawon dan Selamat Datang Para Tamu- Grebeg Suro Romantis Gunung Arjuno. Bertanya-tanyalah dalam hati. "Apa ya hubungan Suro dengan ini semua,"

Saya hampirilah teman-teman tepat di depan petilasan Goa Ontobugo. Kebetulan mereka sedang duduk santai mengobrol dengan bapak-bapak kiranya berusia 50 tahun keatas. "Nyuwun Sewu pak, artinipun Pawon-Peparing Mawon niku nopo nggi," tanya kepada bapak itu. "Nggi niku mas Peparing mawon- Maringi, mengasihi, dikasih aja. Dari saya, kami untuk semua," 

Bapak-bapak berkaca mata yang menyebutkan dirinya sebagai Abah ribut asal Krian Sidoarjo menjelaskan, bahwa Pawon-Peparing Mawon ini sebuah paguyuban atau yayasan yang bernama Wong Bodho asal Gresik Jawa timur. Pendiri yayasan Wong Bodho adalah Kiai Sukhoiri asal Menganti Gresik. Mulanya pendirian yayasan tersebut atas dorongan diri sendiri untuk menolong seseorang. Beranggotakan dari berbagai warga asal Jawa timur hingga beragam agama yang telah bergabung pada yayasan Wong Bodho paguyuban Pawon. Dengan tujuan menjalin kebersamaan merendahkan hati dan saling tolong menolong.

"Kulo nggi seorang penghayat, percaya bahwa nenek moyang kita ada. Maka dari itu kita menghormati dan mengasihi orang-orang sekitar juga," ungkap Abah Ribut yang memakai topi laken fedora berwarna hitam.

Saya penasaran, mengadakan acara sedemikian rupa di kaki gunung Arjuno tidaklah murah biayanya. "Pembiayaan niki, saking sinten nggi pak," Abah ribut menjawab bahwa dana acara ini dari kesadaran diri sendiri antar anggota Pawon-Peparing Mawon. "Saya ada kelonggaran uang, kumpulkan bersama. Kita juga menjual kaos, dananya dari situ," imbuhnya.

Para tamu acara Grebeg Suro Romantis Gunung Arjuno tidak sebatas anggotanya saja. Baik pengunjung, peziarah, petapa dan pendaki. Acara tersebut telah berlangsung selama sepuluh tahun berturut-turut dan diadakan makan bersama-sama setiap satu suro. "Memperingati satu suro istilah tahun baru jawa. Kalau di Islam satu Muharam. Beberapa dari kita juga ada yang puasa, nah puncak hari rayanya ini Satu Suro. "Istilahnya kita merayakan kemenangan bersama dan saling mengasihi," jelas Abah Ribut. 

Meskipun pada saat pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu, Pawon-Peparing Mawon tidak bisa mengadakan makan gratis. Namun mengganti dengan santunan anak yatim-piatu di kaki gunung Arjuno dusun Tambak Watu desa Tambak Wedi kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan. "Biarpun ada korona, anggaran kita ada. Dikasihkan ke yatim piatu di desa ini," imbuh pria asal Krian tersebut.

Hal yang menarik salah satunya adalah, tulisan pada kaos yang dipakai salah satu anggota Pawon. "Yo aku Iki, ngone salah" saya mengira kata-kata tersebut ada, akibat dari stigma masyarakat luar yang menggap aneh paguyuban Pawon, mengapa harus di Arjuno, banyaknya tempat petilasan, tempat sakral, tempat petapa. Abah ribut menjelaskan bahwa Cikal bakal tanah Jawa salah satunya adalah Arjuno. Kita mengenang dan menghormati nenek moyang, tanpa adanya mereka kita tidak akan lahir di dunia ini. "Wong Jawa ojo ilang jawane. Guyub rukun, toleransi lan ngajeni." Pungkas Abah ribut sembari berpamitan melanjutkan kegiatannya.

Di zaman yang modern ini, masih ada orang-orang baik seperti paguyuban Pawon yang peduli terhadap sesama. Menyisihkan sebagian hartanya untuk mengasihi orang-orang sekitarnya. Patut diacungi jempol, ditiru dan dihayati kebersamaan dan kemurahan hatinya.

Ojo dumeh, eling lan waspodo. Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.



Sabtu, 22 Juli 2023

Dalam Dekapan Alas Lali Jiwo Gunung Arjuno


Setelah berjalan berjam-jam dengan kondisi perjalanan yang tidak normal kebanyakan orang. Tibalah di plawangan sebuah persimpangan antara jalan pendakian Purwosari dan Lawang. Kira-kira 1 jam menuju puncak ogal-agil 3.339 Mdpl. Mulanya rombongan berjumlah 14 orang , kini sisa 7 orang terdiri dari tiga senior dan tiga teman sebaya saya. lainnya istirahat di pos 5 Mangkhutoromo. Jalan kian menanjak, hari semakin sore menjelang malam. Angin sepoi-sepoi perlahan menerobos masuk ke sela-sela tubuh yang terbungkus jaket tebal. "Deg, deg, hzzzz," sembari menarik nafas dalam-dalam.

Terdapat sebuah batu besar pada sisi kanan jalur pendakian. Tempatnya lumayan landai, saya mengira sebuah tempat yang aman untuk beristirahat sejenak. Tak terfikirkan waktu itu, sebagai tempat singgah semalaman. Pukul 19.00 rombongan telah turun dari puncak. "Grsskkkk," sedikit tergesa-gesa. Kondisi headlamp yang minim dan perbekalan air yang mulai menipis, berisitirahatlah sejenak di batu besar dengan kontur tanah sedikit landai tadi. Salah satu teman perempuan berinisial A mengalami cedera keseleo kakinya, hingga dituntun jalannya oleh R. Sejenak mendudukkan badannya, dengan tiba-tiba, "Mas, pingsan," si R bersitegang terdiam. Mas H segera memeriksa dengan sigap. 

"Tolong Slepping Bag," mulanya dia telah mempersiapkan Flysheet sebagai alas istirahat kami semua. Segera direbahkan perempuan itu di slepping bag dan dibalutnya dengan aluminium foil sebagai penghangat, diberikan minyak kayu putih sekujur tubuhnya. Salah satu dari kami memberikan cahaya senter melalui headlamp maupun smartphone secara perlahan. Smartphone saya yang sedang menyalapun, sedikit mengabari pada grup WhatsApp mengenai keadaan di plawangan. "Posisi atas plawangan dikit, butuh bala bantuan Ini, A lagi sakit, tidak memungkinkan lanjut turun malam ini. Butuh bantuan+logistik
Bisa bantu?," Pesan itulah yang saya kirim dengan kondisi kami saling menguatkan.

Malam yang semakin gelap ditemani ribuan bintang tepat diatas kepala. Kami rombongan bertujuh membagi tugas, ada yang memasak air sebagai penghangat dan memasak mie instan untuk mengganjal perut lapar ini. 

"Hipotermia" kondisi penurunan suhu tubuh secara dratis dan mengakibatkan kondisi jantung tidak berjalan normal. Pada puncaknya bisa mengalami halusinasi yang mulanya terasa menggigil kedinginan perlahan merasa kepanasan. 

Sempat dilakukan CPR untuk menyadarkan si A. CPR adalah prosedur pertolongan, untuk menyelamatkan pasien henti jantung. Prosedurnya terdiri dari kompresi dada, membuka jalur napas, dan memberi napas buatan. "Amit ya, hsshh, shh, nyut, nyut," melakukan CPR perlahan. Terhitung dua kali melakukan proses tersebut dan akhirnya si A sadar. Kondisi kami yang sedang tegang dan serius menatap kejadian itu.

Setelahnya posisi kepala A harus lebih tinggi dari jantung ataupun dada, agar jalan keluar masuk oksigen tidak terhambat. "Tolong pegang leher kepalanya agak tinggi " sembari mas H berkomunikasi dengan A. Mbak S pula mengusap-usap telap tangannya dengan minyak kedalam tubuh A.

"Siapa namanya, ini siapa?," menjawablah dengan lancar si A. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk mempertahankan kondisi kesadaran korban agar pikiran tidak kosong. Secara tiba-tiba pingsanlah kembali si korban. "Huam....., Saben bengi nangis, tolong dikancani yo, ojo ditinggal," lirih dengan kondisi mimik muka memelas. Sedikit paniklah kami, "kesurupan atau halusinasi,"batinku. Seakan-akan bukan korban yang berbicara. Si senior mas H pun mencoba menjawab "Nggi, niki saksine rencang-rencang. Pun balik nggi," dengan nada lirih tepat disampingnya.

Selang beberapa detik korban sadar secara tiba-tiba "sssttt," salah dari kami berkomunikasi kembali. Apakah itu korban atau sosok yang lain. "Ini siapa?, Mau minum air hangat nga,?" Dijawab dengan anggukan kepala korban. Untunglah sudah kembali. "Tolong air hangatnya tadi," dituntunlah perlahan untuk meminum air hangat tersebut. Setelahnya si R memunggungi si A agar nyaman berisitirahat dengan bersandar pada badan R.

Mas H memberikan tugas kepada kedua teman saya, yaitu R dan L  untuk menemani dan tetap berkomunikasi sama A. Sembari yang lain menyiapkan hidangan masakan untuk malam ini. Terdengar lirih pembicaraan antar ketiga. "Nanti beli mie ayam ya," ujar si laki-laki berinisial R itu.

Beberapa waktu banyak yang mereka bicarakan. Tak berselang lama mie pun matang. Ketiga teman, saya berikan semankok mie, dengan harapan dapat mengganjal dan memberikan rasa hangat dalam tubuhnya. "Iki, barengan ya mie e," ujarku.

Teringat perbekalan yang ada di salah satu tas kami, terdapat satu kaleng sarden dan sisa satu nasi bungkus yang telah kering dan dingin. Bergegaslah kami nyalakan kompor, memasak menjadi satu antara sarden dan nasi tersebut. "Ceklek, mas iki dadi siji ae," dicampurlah keduanya, diaduk hingga merata. Setelah matang, disuapi satu persatu oleh senior tertua kami. "Yok maem, hmm. Protein Iki," enak jawabku. Sembari menyuapi teman-teman yang lain bergantian, sendok demi sendok telah habis terbagi rata nasi sarden hangat tersebut. "Alhamdulillah," ucap rasa syukurku.

Kondisi hembusan angin yang terdengar dari kejauhan "wus, wus, wus," tidak memungkinkan bagi kami untuk turun kebawah. Sejenak menenangkan pikiran secara bersama. Saya cek balasan WhatsApp dari teman-teman di pos 5 Mangkhutoromo. "Tetap jaga kehangatan kalian dengan cara berpelukan dan api. Tetap koordinasi, iki sumpah gaiso karo tim sar e ****. Mereka iki wes omong lek lepas tangan," dengan sedikit membual. Mengingat kondisi kami yang semakin kedinginan, terlebih lagi tiada bala bantuan dari pihak yang berwenang. Sebuah keputusan yang tepat beristirahat disini.

Flysheet tadi dibagilah secara merata, bagaimana caranya agar cukup menjadi alas ketujuh orang. Sambil berpelukan erat agar tidak kedinginan. Namun apalah daya, saya tidak kebagian flysheet dan mendapat bagian paling pojok tepat di samping tas Carrier yang kami gunakan untuk membawa beberapa logistik dan perlengkapan. "Husss, dingin," sedikit menggigil sambil mengusap-usap kedua telapak tangan.

Agaknya saya tidak bisa tidur kali ini, meskipun berbagai cara, seperti tas carrier saya gunakan sebagai alas tidur. Berpindah tempat di sebelah pojok lain yang terhalangi oleh batu dengan harapan sedikit hangat. Namun tetap sama tidak bisa tidur. Seakan alam memberikan tanda untuk menjaga teman-teman yang sedang berpelukan dari tidur pulasnya. Saya pandangi gemerlap langit, terlihat dibawah lampu-lampu rumah penduduk menerangi kesunyian malam. "Hmm, dingin," menarik nafas dalam-dalam perlahan saya hembuskan. Kondisi saya tepat di sebelah L, agaknya sedikit khawatir jika L ikut kedinginan. Saya siasati dengan menumpuk tas carier hingga menutupi badannya.


Menuju tengah malam, hari semakin dingin menusuk kedalam pori-pori kulit. Saya nyalakan kompor portabel kecil berwarna merah itu, perlahan menuangkan air. "Huhhhh," sembari mengusapkan telapak tangan diantara api-api yang menyala. "Mbak S, ini tidak ada yang menemani saya," celetuk ku kepada senior perempuan itu. "Gruskk, grskk, sek, sek iki mas A kademen pisan," 

"Wusss. Blubuk, blubuk," menandakan air sudah mendidih, uap air semakin mengebul, saya singkap pada kedua telapak tangan. "Slurppss," legah rasanya meminum air hangat. Tiba-tiba, "Eh, ada aluminium foil lagi," tanya senior perempuan itu. Bergegas saya ambil alumunium foil yang melekat pada tubuh si A, kebetulan dia memakai dua alumunium foil dan kami hanya membawa itu saja."Tak ambil satu alumunium foil e," perlahan saya lepas satu alumunium foil tersebut. "Ini mbak, bungkus itu mas A kasih minyak,"

Saya hidupkan kompor kembali dengan harapan mereda dinginnya tengah malam itu, bahkan diatas tungku kompor kecil itu, saya taruh ranting-ranting kayu. Agar sedikit membesar api-api itu. Tak berselang lama, kondisi mas A kian membaik. Akhirnya mbak S dan mas A menemani saya di tengah kesunyian malam tadi. "Eh, ngae kopi enak Iki," saya tuangkan sedikit air. "Besarin ae kompor e, di tasku ada satu kaleng gas masih penuh," ucap mas A. Beberapa menit kemudian air mulai mendidih, saya seduh kopi lengkap dengan gulanya. Diaduk perlahan, "nih, mas, mbak. Lumayan anget," diseruputlah pelan dan secara bergantian kopi hitam itu.

Kira-kira pukul 02.00 pagi, kami bertiga tepat dihadapan kompor mungkil itu sejak tadi, kobaran ranting kayu, sedikit menghangatkan tubuh kami. Beberapa saat kemudian mbak S, menghampiri L. Seperti sedang menggigil kedinginan. "Minyak kayu putih nengndi," tanya mbak S. "Waduh, benar ternyata si L kedinginan, tumpukan tas Carrier untuk menghalangi badan dari angin malam tidak mempan ternyata," ucapku dalam hati.

Setelah mengusapkan minyak tersebut. Mbak S membangunkan mas H. "Mas, L kademen Iki," bergegas mas H bangun dari tidurnya. "Alumunium foil, Slepping Bag, cepet-cepet,"

Saya hampiri si A yang memakai Slepping Bag tadi, "wis mendingan,?" Si A dalam pelukan R itu menjawab dengan lirih. Segera saya lepas perlahan Slepping Bag tersebut. "Bungkus ngae alumunium foil sijine, terus slepping bag," ucap mas H.

"Huahhhh," si L mengagetkan kami semua. Tangannya seolah-olah ingin mencekik lehernya sendiri, kami tahanlah kedua tangannya, sembari mbak S memberikan minta kayu putih di sekujur tubuh L. Mulanya si L kesusahan bernafas, terlihat dari nafasnya yang terengah-engah. "Humm, ahh, hum ah," mas H, memberikan isyarat untuk bernafas secara perlahan, sembari memegangi lehernya agar sedikit lebih tinggi dari tubuh L.

Sekali pula mas H, memberikan pertolongan pertama berupa CPR, dan Alhamdulillah langsung tersadarkan diri. Kondisi L yang kian lemas, membuat sedikit khawatir bagi kami. Matanya terlihat sayu, sedikit kemerahan. Beberapa dari kami berkomunikasi dengannya. "Buka mata L," ucap mas A. Tak lama matanya terpenjam beberapa detik, tiba-tiba melotot itu mata. "Waduh, ada apa lagi ini," batinku. 

Berulang kali si L merosot kebawah karena memberontak. Kontur tanah agak landai tersebut membuat kamu sedikit kesusahan menanganinya. "Yok. Satu, dua, tiga. Angkat lagi agak keatas,"

"Ahhhhh, Enje'. Enje'," teriak L dengan tangan ingin mencekik lehernya. Kami segera memegangi tangannya dengan kuat. Pemberontak tangan L kuat pula. "Waduh, pripun. Kudu nyerah ae arek iki," ucap mas H. Tak lama kembali sadar si L, tak lama pula si L berubah menjadi diri yang lain. "Abi, Abi," sambil berbicara bahasa Madura, yang beberapa kami tidak pahami. Namun untungnya terdapat mas A, yang paham bahasa Madura dan mengajak komunikasi dengan bahasa Madura.

Menuju sepertiga malam, kondisi L tak kunjung membaik. Berulang kali sadar, namun berulang kali pula bukan menjadi dirinya sendiri. Mas H, memberikan wejangan, "Yang lain jangan kosong pikiran, A udah enakan?," tanyanya. Si A menjawab dengan perlahan "Nggi mas," Tetap di pake alumunium foil e ya.

Teringat kembang kantil yang diberikan kepada L di Sendang Dewi Kunti. Mas H, menyuruh R mencari kembang kantil tersebut di tas Carrier L. Dicarilah secara pelan-pelan. "Iki mas," disodorkan kembang kantil tersebut oleh R.

Lalu R, merebus air sebagai penghangat kami semua. Mas H menyodorkan kembang kantil tersebut, namun tidak ada reaksi apapun dari L. Si L bereaksi mengucapkan  "dingin, kepalaku," segera aku tempelkan salon pas sebagai penghangat, meskipun terlampaui panas nantinya. Malam yang mencekam tak kunjung berakhir, sorot lampu-lampu rumah penduduk menghiasi sepertiga malam itu. Tepat satu jam lebih, mas A berkomunikasi dengan bahasa Madura bersama L, meskipun arah omongan tersebut tidak kami mengerti.

Tiba-tiba L, semakin memberontak dan berteriak kencang ditengah-tengah kesunyian rimba Arjuno. Hal itu membuat saya merinding seketika. "Ahhhhh huahhhh, huahhhh akhhhhh akkkkhhh," tangannya tetap memberontak ingin mencekik lehernya. Beberapa dari kami berganti memegangi tangan si L yang terlampau kuat memberontak. "Tenang, nggi, ayo balik ke L," ucap mas H. "Ahhhhh huahhhh, huahhhh akhhhhh akkkkhhh," teriak L terhitung tiga kali berturut-turut dan melakukan gerakan yang sama seperti sebelumnya. Teringat smartphone saya yang memiliki iringan musik surah-surah pendek. Saya alunkan surah Yasin saat itu, sambil membacakan secara perlahan bersama mbak S "Bismillahirrahmanirrahim. Yassiin. Wal-Qur-aanil-Hakiim. Innaka laminal mursaliin. Alaa Siraatim Mustaqiim..........Salamun Qaulam Mirrabir Rahim......fa sub-ḥānallażī biyadihī malakụtu kulli syai`iw wa ilaihi turja'ụn," setelahnya saya mencoba membacakan ayat kursi, dengan harapan segera teratasi segala persoalan ini.

Ketika mas A, berkomunikasi dengan bahasa Madura, si L hanya mengangguk-agguk saja. Sedikit membuat kesal kami semua "Iyut, lagghu'a mole de kancah," ungkap mas A. Sesekali mengangguk si L juga tersenyum tipis. Kami mencoba tabah dan menyerahkan semuanya kepada Allah SWT. Lantunan syahada saya ucapkan perlahan "Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah,"

Si A kondisinya yang mulai membaikpun mencoba mendekati L. "Tatap mataku, jangan lihat yang lain," ucap dengan tegas si A. Tatapan tajam antara A dan L ternyata hanya sesaat. Si L rasanya tak kuat menahan mata yang sayu itu, ketika melihat pada sisi lain, si L tiba-tiba kembali pada bukan dirinya kesurupan. "Gelap, gelap, gelap," ucap L. Di soroti lah wajahnya dengan senter oleh mas A. Pertanda apa ini, kok gelap, gelap. Si L dan A saling bertatapan kembali, tak lama L berpaling tatapannya tepat di samping R, dengan tiba-tiba. "Hihixixi," lemas tubuhnya. "He ayo, tatap mataku. Jangan tatap ke arah yang lain," ucap A.

Tidak berselang lama, lantunan shalawat tarhim terdengar sangat pelan dari kejauhan. Memasuki waktu shubuh sedikit membaik pula keadaan waktu itu. Terbangun lagi si L, "ini siapa, ini siapa," ditanyailah kepada si A dan si L menjawab dengan tepat. "Alhamdulillah," batinku.

"Kenapa badanku di bungkus," ucap L. Kami pun menjawab agar tidak kedinginan tadi. Sedikit tertawa lah saya dalam hati. Agap saja mencairkan kondisi badan yang dingin ini. "Kakiku dingin," dengan sigap mas H menutupi kaki L dengan Flysheet dan memeluknya.

 Ketika L mulai membaik, saya suruhlah beristighfar dengan tuntunan. "Astaghfirullah hal adzim. Astaghfirullah hal adzim. Astaghfirullah hal adzim," diikutilah pelan-pelan olehnya. Berulang kali ucapan dzikir telah dilantunkan. "Astaghfirullah, astaghfirullah," ucap L dengan lirih dan lemas 

Disaat benar-benar membaik si L merasa kepanasan pada kepalanya, benar saja salon pas yang saya tempelkan bereaksi dengan cepat. "Bentar ya, tak lepas e," sedikit tertawalah saya. Mas H bertanya, "mau minum nga," dituntunlah pelan-pelan untuk minum air hangat itu oleh si A. Sembari mengajak ngobrol agar tetap sadar, si R dan A bertanya, "Mau apa L," dijawab dengan nada kesal "Enje',"

"Mau tidur, ngantuk aku," desak L. Kami tidak memperbolehkan dia tidur, takutnya kembali seperti tadi. "Iya habis ini boleh tidur, tunggu bentar," ucap A. "Jahat kalian, ngantuk aku. Nga boleh tidur," Waduh, pikirku bukan jahat ini, demi kebaikan dan kesejahteraan bersama jangan tidur dulu. Balik lagi, ngeri. 

Kondisi hembusan angin tipis menjelang subuh memberikan tanda kami semua mulai membaik. Si L dan A akhirnya tidur saling berpelukan untuk menjaga rasa hangat, tidak lupa mas H tidur tepat di bawah L untuk memeluk sekujur kakinya. Tidak lupa dengan R yang tidur tepat di belakang A. Begitupula saya mencoba tidur karena semalam tidak bisa tidur ditengah menggigilnya tubuh ini. Mas A dan Mbak S nyatanya tidak bisa tidur, sedikit terdengar senda gurau mereka berdua. Sambil menyalakan kompor dan ranting menghangatkan tubuhnya.

Tidurlah
Malam terlalu malam,
Tidurlah
Pagi terlalu pagi,
Dan pagi takkan terisi lagi,
Lonceng bertingkah sebagaimana mestinya
Membangunkan orang tanpa membagi
Sedikit asmara untuk memulai hari,
Tidurlah~



Ada Apa Dengan Tampuono dan Sendang Dewi Kunti


Setibanya di pos 2 Tampuono saya dan rombongan bergegas duduk di warung tepat sebelah jalur pendakian. Warung tersebut sunyi sekali, nampak telah tutup selama beberapa hari, terlihat dari butiran debu halus yang melekat disela-sela meja dan kursi. 

Sembari beristirahat dan melirik keadaan sekitar. "Wah, kenapa ya di setiap pos maupun tempat berbentuk bangunan, selalu ada stiker komunitas yang melekat erat di sepanjang dindingnya," Dalam hati saya penasaran, kategori Vandalisme bukan? Tidak hanya di pos 2, saya menjumpai hal serupa, di basecamp pula banyak sekali stiker demikian. Dalam lamunan itu, senior saya mengertak seketika "Woi yok, keatas. Cuci muka, bersih-bersih,"

Setapak demi setapak menyusuri anak tangga. Disepanjang jalan itu banyak di jumpai tanaman berdaun merah, kalau tidak salah namanya Hanjuang atau Coleus. Indah sekali, daun merah merona dan sangat menggoda mata. Beberapa rumput kucai juga menghiasai jalur setapak tersebut. "Hmmm sejuk," menghela nafas sejenak. Beberapa anjing hutan pun berkeliaran lalu lalang menemani. Tampak anjing yang kurus, hingga tulang rusuknya terlihat melekat erat pada kulit tubuhnya.

Tidak hanya itu, terdapat berapa pondok dan warung yang ada di pos 2 Tampuono tersebut. Kira-kira lima pondok dan dua warung. Namun terlihat satu warung saja yang buka. Beberapa peziarah asik sedang nongkrong di kursi bambu persegi panjang, istilahnya amben. "Monggo pak," tersenyum tipis menyapa.

Tak terasa berjalan yang awalnya sedikit menanjak, kini perlahan menyusuri jalan turunan kurang dari 5 menit, terperangah. "Ada kolam," batinku di dalam hutan kok ada kolam. Saya cermati lebih dekat, terdapat tulisan Sendang Dewi Kunti. Semakin bertanya-tanya lah saya, "Apakah Dewi Kunti ibunya Pandawa Lima cerita pewayangan, terus apa hubungannya,"

Hashhh, nanti sajalah. Keliatannya segar ini air, sayang jika dilewatkan. Segera Cuci muka, dan berwudhu untuk menunaikan shalat Dzuhur dan Ashar. Kebetulan waktu menunjukkan pukul 14.30. Hawa dan suasana berbeda bagi saya, perpaduan antara sejuk dan hangat tercampur menjadi satu. Mungkin karena letak Sendang tersebut, sedikit jauh dari pondok-pondok yang ada. "Hummmshh, Allahumma Sholli Ala Sayyidina Muhammad, Waallah Ali Muhammad," Air mengalir pada pipa dan keran yang telah tersedia, Nampak beberapa ranting daun mengambang, sedikit kotor area Sendang tersebut. Begitu juga air sendang yang mengalir sangat dingin, namun menyegarkan. Tak terasa beberapa tegukan telah terminum. ", Alhamdulillah,"

Tidak hanya sendang berbentuk kolam  terdapat pula dua wc yang tertutup rapat antar biliknya dan satu kamar mandi. Seperti biasanya beralaskan seng untuk menutup antar setiap bilik. Ntahlah terdapat satu ruangan khusus, semacam pondok. Pada saat itu juga. Terdapat satu bapak kira-kira berumur 50 tahun memasuki pondok kecil itu. Ntah apa yang beliau lakukan. 

Kebetulan senior yang mengajak saya, duluan kembali ke atas. Kini tinggal saya bersama dua teman perempuan yang sedang berberes. Duduklah saya di anak tangga tersebut, sembari membelakangi mereka. "Apa ya, yang dilakukan bapak itu," pikirku. Tidak lama setelah kedua perempuan berberes dan berbarengan dengan bapak tersebut keluar dari ruangan itu. 

"Niki nduk, menawi pingin sesuatu," waw apa ini, saya mendengar dari kejauhan. Bapak tersebut kembali keatas, sambil tersenyum tipis. "Monggo, pak," sapaku.



Saya hampirilah mereka, "ada apa tadi," tanyaku, dan terdiam sejenak. "Ini, kembang," ucap L sembari menunjukkan telat di depan mata. Ternyata salah satu dari mereka, dikasih kembang yang belum mekar berwarna kuning. Saya menyebutnya seperti Kembang Kantil. Sedikit khawatir waktu itu, terlebih lagi suasana sudah semakin sore, suasana yang berbeda sekali anyep. Teman saya yang dikasih kembang kantil tersebut, tiba-tiba menuju petilasan Dewi Kunti. "Ehhh, kemana, ayo balik aja," sembari berjalan. Ternyata di belakang pondok kecil terdapat lahan lengkap dengan pohon yang telah dibaluti kain berwarna kuning diantara keduanya. Terdapat alas berupa kendi, dupa dan bunga. Pahamlah saya, ternyata disitu tempat berziarah Dewi Kunti. 

Tiba-tiba, "Nga, cuma penasaran aja, lagian aku mintanya tetap sama Allah SWT," jelasnya. Sedikit legah rasanya, apapun yang terjadi dan yang kita inginkan serahkan semua kepada Allah SWT. Kita sebagai manusia sudah selayaknya, menghargai pemberian seseorang terlepas dari baik buruknya.

Sebelum berkumpul kembali bersama rombongan, saya bertiga mampir sejenak di sebuah warung. Niatnya ingin beli kopi, namun teman-teman dibawah rasa-rasanya sudah membuat wedang kopi. "Buk, niki pintenan," ucap si A menunjuk satu bungkus camilan krupuk berwarna oranye. "Gangsal ewu nduk," 

Sembari menikmati renyahnya krupuk tersebut saya bertanyalah kepada Ibu-ibu pemilik warung tersebut. "Mak, Sendang Dewi Kunti niku nopo," tanya dengan polosnya. "Oh, niku le. Ceritanipun teng Sendang, Dewi Kunti biyung e Pandawa Lima niku, saking kayangan siram teng mriku. Monggo pumpung tasik enom, siram teng mriku pisan. Nggi kepercayaan saget damel awet enom," jawab perempuan tua yang beberapa kali di panggil emak oleh peziarah lain. "Oh nggi, sampun mak. Nikuwau raup, bersih-bersih teng mriku," balasku.

Dalam hatiku penasaran, "Itu ada jerigen, buat apa ya, apakah buat mengambil air di Sendang Dewi Kunti," temanku tiba-tiba menanyakan apa yang aku pikirkan kepada si emak. Emakpun menjawab benar adanya, bahwa peziarah biasanya membawa air dari Sendang tersebut. Terlebih lagi saya baru menyadari, beberapa hari menjelang malam satu suro.
Emak pula menjelaskan banyak peziarah yang datang dan akan ada iring-iringan tumpeng menuju Sendang Dewi Kunti pada malam satu suro mendatang. Satu suro adalah tahun baru jawa, perayaan penting bagi masyarakat yang kental dengan adat Jawa. "Nggi pun Mak. Monggo Kulo lanjut rumiyen."


Jumat, 21 Juli 2023

Kopi Arjuno



Menjawab pertanyaan pada cerita sebelumnya. "Petani kopi," hmm. Pikiran tertuju pada banyaknya biji kopi yang sedang dijemur tepat di depan rumah warga. Saya sedikit mengamati bentuk biji kopi khas Arjuno itu. "Wah rasanya ingin menyeduh kopi, apakah mempunyai ciri rasa yang berbeda dengan kopi lainnya," batinku.

Teringat omongan pak Budiman, bahwa mayoritas warga dusun Tambak Watu, seorang petani kopi. Pernyataan saya lagi-lagi adalah, apakah warga mengelola menjadi bubuk kopi itu sendiri? Ntahlah.

Ternyata dalam perjalanan menuju Arjuno banyak sekali tanaman kopi membentang dari ujung hingga ke ujung. Mulai dari jalanan berbeton yang diawali dengan gapura konstrad. Disana saya merasakan suasana asri, tenang dan banyaknya pohon Pinus dengan beberapa tanaman kopi di sepanjang jalur.

Menapaki jalanan berbatu dengan beberapa area tanah menanjak tidak terlalu miring hingga pos 1 Goa ontobugo  dan  pos 2 Tampuono diatas 1300 Mdpl. Kontur jalan yang mulai terbuka dan matahari mulai menyengat tubuh, ditambah aroma kopi yang khas. 

Di sepanjang jalur pendakian pos 1 hingga pos 2, tanaman kopi semakin lebat, bentuknya sama seperti tanaman kopi lainnya. Berupa bulatan kecil, tiap satu ujung tangkai terdiri dari 5 hingga 10 biji kopi. Warnanya bervariasi ada yang sudah matang berwarna merah kecoklatan, dan hijau, hingga kekuningan menandakan kopi belum matang. Tanama tumbuh kira-kira 2-3 meter saja. Daunnya seperti daun pohon mangga, dengan diameter 3 cm, dengan panjang 5-10 cm. Hal yang menarik bagi saya adalah, tanaman kopi tersebut memiliki kerutan garis lengkung seperti buah semangka mini. "Ini to, buah kopi," coba saja, itu Cherry habis sudah dimakan pendaki.

Sebuah anugerah lereng Arjuno yang subur bagi petani kopi. "Huamm, Alhamdulillah," sejenak menarik nafas perlahan.

Selang beberapa hari setelah melawan dingin dan beringasnya rimba Arjuno. Terhitung 5 hari saya dan rombongan berada pada dekapan Arjuno. Mulanya estimasi hanya 3 hari, kejadian demi kejadian akan saya ceritakan nanti.

Perlahan menuruni setapak demi setapak jalur pendakian menuju pos 1, kontur bebatuan dan aroma kopi yang khas menemani. Sembari berjalan perlahan dan menunggu teman-teman dibelakang, saya menyeletuk petani kopi yang kebetulan sedang bersantai tepat di pinggir kebun kopi. "Monggo pak," bapak mengijak usia senja itu menjawab dengan ciri khas orang Jawa yang lemah lembut, yaitu The Power Of "Monggo"

"Punika, kopi niki diproduksi warga sedoyo nggi pak?," Akhirnya pertanyaan yang menggeluti isi kepala selama beberapa hari terlontarkan. Bapak tersebut menjawab ditengah-tengah matahari tak semenyengat di siang bolong. "Mboten mas, punika kopi niki, disetoraken teng PT Kapal Api," rasa penasaran itu akhirnya terjawab. 

Saya mengira warga sekitar juga mengelolah menjadi bubuk kopinya sendiri. "Mungkin beberapa saja," batinku. Namun rasa penasaran menikmati kopi khas Arjuno belum terpecahkan. Bukan tidak mungkin daerah penghasil kopi Arjuno tidak menjual secangkir kopi Arjuno kan?


Sesampainya di basecamp perizinan, Cahaya matahari semakin meredup, lampu-lampu rumah mulai menyala perlahan. Saya bergegas berkemas dan membersihkan diri, sembari melakukan shalat magrib di mushalla yang tak jauh dari basecamp.

Terlihat dari kejauhan teman-teman berjalan menuju warung Mbah Ji yang terpampang jelas foto beliau. Letaknya tepat di depan basecamp. Saya hampirilah mereka, beberapa cangkir kopi  hitam, wedang jahe, wedang cokelat milo telah nampak dihadapan tubuh yang lelah ini. Oh ya sebelumnya, saya telah menitipkan pesanan kopi khas Arjuno ini kepada senior saya, yang akrab di panggil Mas Hilmy.

Saya ambil secangkir kopi Arjuno secara perlahan, masih panas rupanya. "Huamm, aroma yang khas," batin saya menduga, seperti kenal aroma kopi ini. Saya rasakan aromanya beberapa kali, sembari menunggu hangat. "Slurppss, sshshhh, kopi Arjuno," tak menyangka rasanya sama persis dengan kopi kapal api. Kebetulan saya kerap meminum kopi kapal api, sehingga hafal dengan rasa dan aromanya. Teringat omongan petani kopi di jalur pendakian tadi, salah satu pemasok kopi merek kapal api adalah kopi khas lereng Arjuno.

Biji kopi yang ditanam diatas 1000 Mdpl itu, tidak lain tidak bukan sama persis dengan kopi bermerek kapal api. Rasa khas masam, pait, dan manis pas menjadi satu yang terasa kala itu. "Sssstt, mas jangan ramai-ramai nggi, ada kopi bubuk." Celoteh bapak tua yang membubarkan lamunanku.


 

Sejengkal Arjuno


Pertama kali melihatnya tepat 5 tahun lalu. Kebetulan pula saya suka berjalan-jalan pagi menikmati udara yang segar di kota metropolitan Sidoarjo. Nampak bentuk gagah dan menjulang tinggi, dengan hiasan lampu yang nampak dari kejauhan mengitari lerengnya.

Waktu itu, saya belum tahu kalau itu Gunung Arjuno Welirang dengan berpunggungan Gunung Penanggungan. Lambat laun saya mengetahui bahwa itu gunung Arjuno Welirang dan menampakkan kaki saya ke jalur pendakian Tamiajeng Gunung Penanggungan tepat pada 2019 lalu.

Kini 12 Juli 2023 sangat jelas gunung Arjuno. Saya bersama 14 orang berada tepat di dusun Tambak Watu, desa Tambak Sari, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan. Mulanya sampai disana tengah malam. Suasana sunyi dan dingin mulai memasuki perlahan ke dalam tubuh yang belum beradaptasi. Bayangkan saja awalnya berada pada dataran rendah yang notabenenya panas, tiba-tiba berada pada dataran tinggi yang dingin sekali.

Ini bukanlah suatu yang kebetulan, berada pada lereng Arjuno merupakan sebuah rencana. Yap saya bersama rombongan akan mendaki gunung Arjuno via Purwosari. 

Setelah bergelut dengan dinginnya malam, tidur beralaskan matras, tak seenak tidur di kota beralaskan kasur empuk nan lembut. Tiba-tiba  terbangun tepat di depan basecamp perizinan pendakian. "Oh ya, saya kan tidur disini semalam," gumam saya.

Embun pagi masih menghiasi sekeliling, beberapa warga desa mulai keluar dari rumah setelah semalaman beristirahat melepas penat. Saya berjalan sejenak, mengamati sekitar. "Wah, matahari mulai menampakkan wujudnya,” sedikit terdiam. Pikirku jika matahari mulai bersinar, agaknya mulai hangat tubuh ini. 

Mataharipun benar-benar menjulang ke langit, awalnya berwarna jingga sedikit temaram. Banyak warga desa mulai beraktivitas. Sembari duduk di pos, tepat di pinggir jalan beraspal beton yang menanjak, layaknya jalan pegunungan. Saya berbincang sejenak, bersama bapak tua kira-kira berumur 50 tahun keatas. "Monggo, pak, kulo lenggah nggi," bapak yang memakai jaket lengkap dengan sarungnya pun membalas dengan lemah lembut, sambil menghisap rokoknya. 

Beberapa perbincangan yang kami lakukan, salah satunya mengenai banyaknya petilasan di gunung Arjuno via Purwosari. Hal yang cukup mengejutkan bagi saya adalah, banyaknya warga luar maupun dalam yang kerap melakukan petapaan. Beberapa saat setelahnya bapak yang bernama Budiman asal Tebet Jakarta Selatan tersebut menyeletuk. "Semar kok di celuk eyang, sing pantes diceluk sebenarnya eyang Adam hawa,"

Sambil melanjutkan ceritanya dan menawarkan rokoknya kepada saya, kebetulan saya tidak merokok dan cukup memberitahu, "nggi pak, matur nuwun, mboten ngerokok kulo," 

Jika dilihat secara detail pak Budiman, meskipun bukan orang asli sini. Namun secara keseluruhan seperti orang lokal yang lama tinggal di dusun Tambak Watu tersebut. Tidak memakai alas kaki, membuat banyak goresan dan kulit kering melekat erat di sekujur telapak kakinya.

Tak terasa dua batang rokok Gunung Cengkeh telah habis dihisapnya dan menghidupkan rokok ketiganya. "Nang nduwur, akeh wong sesat mas. Patung disembah, slametan dipatung. Kulo mboten sepahaman kale tiang niku,”

Saya seorang yang awam dalam hal begituan, nampaknya mengangguk saja. Terlebih lagi, cukup menghormati tanpa harus mengikutinya. 

Sejenak saya melihat handphone, pukul 06.56 ternyata. Terlihat dari kejauhan teman-teman terlihat dari kejauhan, sedang asik mondar-mandir memandangiku. "Wah nampaknya, sudah waktunya sarapan," pikirku. Toh biarin saja, nanggung lagi asik ngobrol dengan si Bapak.

Sejenak mematikan rokoknya yang terhitung ketiga kali, pak Budiman mengatakan bahwa dirinya hanya mandi setahun sekali. Cukup takjublah saya, "Mengapa demikian?," Tanyaku dalam hati. Tak lama beliau menjawab, seakan cenayang bisa membaca pikiranku. "Sing penting adus ati ambek lambene. Bismillah, bismillah dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang," ungkapnya.

Badan kita yang bersih ini, mandi setiap hari. Pakaian bersih, bagus. Akan percuma jika hati kita kotor. Itulah ungkapnya. Eh dipikir-pikir betul juga. Mereka-mereka yang bersih, rapi, wangi, berdasipun pantas di sebut maling bukan? Korupsi dimana-mana, rakyat kecilpun yang susah.

Tak terasa saya telah mengobrol dengan pak Budiman selama beberapa jam, tak terasa pula banyak warga yang melintasi jalanan dengan motor khas pegunungan yang gahar. Suara cempreng melewati jalanan menanjak itu. "Oh, ternyata banyak warga yang ingin berkebun, eh mata pencaharian warga sini apa ya? Teh? Kopi? Cengkeh?," Rasa penasaran semakin menggebu-gebu, membeku sejenak.



 

Pawon: Peparing Mawon Acara Memperingati Satu Suro Di kaki Gunung Arjuno

17 Juli 2023 Pukul 15.20 saya dan rombongan tiba di pos 1 Ontobugo. Kegiranganlah saya, setelah beberapa hari berada pada rimba ...