Judul: Di Bawah Bendera Merah
Penulis: Mo Yan
Penerjemah: Fahmy Yamani
Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta
Halaman: 140
Tahun terbit: 2013, cetakan ke-1
ISBN: 978-979-024-4-410-8
Buku yang berjudul Di Bawah Bendera Merah di tulis langsung oleh Mo Yan, berdasarkan kisah yang dialaminya. Penulis yang lahir pada tanggal 17 Februari 1955 di negara tirai bambu ini menyinggung rezim komunis yang berada pada negeri China. Mo Yan sebagai penulis membungkus kritik pedas komunisme yang di hadapi secara kontroversial didalam kehidupnya. Jika dilihat dari namanya Mo Yan memiliki arti jangan berbicara, dan dilarang membicarakan isi pikirannya.
Sekitar tahun 1950 pada masa revolusi China yang tengah bergejolak, dirinya tetap menulis kesaksian dan kisah kehidupan bangsanya. Gejolak kritikan tersebut akibat dari kondisi tempat tinggal yang mengalami banyak kemiskinan sehingga berimbas pada putus sekolah yang dialami Mo Yan pada usia 12 tahun. Sehingga karya tulisan Mo Yan dianggap sebagai racun bagi kroni komunisme China. Meskipun pemberontakan masyarakat China dapat ditumpas, baik dalam dunia nyata maupun tulisan Mo Yan, pemimpin China tetap ketar-ketir menghadapi aksi mahasiswa, buruh, dan rakyat di lapangan tempat satu juta rakyat mengelu-elukan poster Mao Tze Tung (Mao Zedong) sang revolusioner komunisme yang pertama kali mendirikan Partai Komunis Tiongkok (China).
Sama halnya dengan tokoh Karl Marx yang berujung pada pemikiran Marxisme, yang dimana kaum borjuis mengumpulkan banyak uang dengan mengorbankan kaum proletar. Marx sendiri termasuk ke dalam golongan kaum proletar. Sebuah kritikan yang di lontarkan adalah bentuk keresahan dari setiap orang, namun kebebasan yang dimiliki memiliki keterbatasan karena pengkritik berada pada tekanan kaum atas atau borjuis.
Mo Yan berperan sebagai tokoh "aku" dalam cerita tersebut, yang dimana pada saat bersekolah dirinya dan teman-temannya diberi pertayaan oleh gurunya yaitu "Apakah impian kalian?". He Zhiwu menjawab dengan tegas, bahwa "impianku adalah menjadi ayah Lu Wenli". Ayah Lu Wenli adalah seseorang sopir truk, yang mana pada masa itu pengemudi truk adalah orang terpandang kedua setelah keluarga kerajaan. Jika dikaitkan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, hal yang menjadi mimpi generasi milenial salah satunya adalah menjadi Abdi negara dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mengapa demikian? Karena dua pekerjaan tersebut bertujuan untuk mengabdi kepada negara dan terjamin oleh negara sampai usia tua. Maka tidak heran jika orang tua mengidam-idamkan anaknya kelak dapat menjadi atau memperoleh pasangan dengan kriteria tersebut.
Dalam buku ini mengatakan "Jika berhasil kembali hidup-hidup, aku akan di promosikan untuk keberanianku; jika mati orang tuaku akan mendapatkan penghargaan sebagai keluarga martir secara dramatis akan mengubah status politik mereka". Kalimat tersebut mengandung artian bahwa mereka siap mati daripada kehidupannya direndahkan.Hampir sama kaitannya dengan semboyan suku Madura "Apote tolang atembang apote marah" artinya lebih baik mati dari pada menanggung rasa malu.
Syahdan, karya-karya Mo Yan kerap disejajarkan dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang juga sering mengkritik kondisi bangsa Indonesia dalam kondisi sedang dijajah oleh Belanda dalam bentuk penindasan dan revolusi yang menyebabkan rakyat sengsara. Contohnya ialah pada karya Bumi Manusia dimana sosok pribumi asli, yaitu Minke dan Nyai Ontosoroh yang sering mengalami penindasan serta diremehkan oleh kaum Eropa dan Indonesia (percampuran Eropa dan Pribumi). Bagi mereka Pribumi dianggap rendah oleh kaum Eropa, pribumi dengan kejamnnya dijajah di negerinya sendiri.
Menilik pada tulisan dalam buku ini tergolong pada bacaan ringan dan mudah dimengerti, karena mengandung nilai-nilai perjuangan para kaum buruh, petani dalam memperoleh hak-haknya. Pada dunia nyata penulis putus sekolah karena kemiskinan keluarganya, tetapi tetap berjuang melanjutkan sekolahnya. Keberpihakan Mo Yan dalam buku benar-benar dijelaskan secara detail, karena ia hidup dalam kondisi rezim komunis pada saat itu. Sesuai yang di ungkapkan Mo Yan dalam buku nya, Cara terbaik berbicara adalah menulis, karena omongan akan sirna tertiup angin, tetapi kata-kata dalam penulisan tak bisa lenyap begitu saja.
Karya Mao Yan berhasil meraih penghargaan Nobel Sastra 2012, sehingga disambut gembira oleh pemerintah China meskipun dalam sebuah kritikan. Akan tetapi pada saat itu dia sudah resmi menjadi warga negara Perancis. Adapun kekurangan dari buku ini, yang hampir sama dengan buku terjemahan lainnya, banyak menggunakan istilah asing pada nama tokoh dan tempat yang diceritakan penulis, dikarenakan buku ini hasil dari pemikiran Mao Yan yang berasal dari China.
Buku ini sangat direkomendasikan bagi orang yang ingin belajar berpikir secara luas dan tegas, khususnya bagi orang yang menginginkan semangat perjuangan dalam kesetaraan. Sesulit apapun kehidupan akan tetap berjalan, dan kita sebagai manusia wajib memperjuangkan hak-hak hidup sampai sebuah penindasan tidak lagi menghantui kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar